Oleh :
Hermas Vidi Eka Prasetya, S.Pd (Guru Sejarah SMAN 2 Sukoharjo)
Manusia membutuhkan pendidikan agar mampu beradabtasi dan berinteraksi dengan baik di lingkungannya. Pendidikan diawali dari interaksi dengan keluarga di rumah dan interaksinya dengan masyarakat luas. Maka dari itu, peran keluarga dan orang-orang sekitar sangat berperan besar dalam pembentukan karakter dan perkembangan pola pikir seseorang. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat (1), bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Berbicara mengenai pendidikan bagai kedua sisi mata uang, jika di satu sisi tersebut adalah pendidikan, maka sisi yang kedua adalah Bapak Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara lahir di Paku Alaman Yogyakarta tanggal 2 Mei 1889, beliau memiliki nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Beliau merupakan keturunan pangeran Kadipaten Puro Pakualaman. Pendidikan beliau berawal dari pendidikan pesantren di Kalasan dan mendapat bimbingan dari Kyai Haji Soleman Abdurrohman. Beliau kemudian menempuh pendidikan di Eropessche Lagere School (ELS) di kampung Bintaran dekat dengan tempat tinggalnya. Setelah menyelesaikan pendidikannya di ELS, ayahnya menginkan beliau melanjutkan sekolah ke Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) atau sekolah calon pegawai Pemerintah Belanda, akan tetapi beliau lebih memilih untuk melanjutkan sekolah ke Kweekschool atau sekolah calon guru, hal ini karena beliau merasakan terdapat kesenjangan pendidikan antara anak-anak Belanda, anak bangsawan dan rakyat jelata.
Ketika mendengarkan pemaparan dari dr. Wahidin Soedirohoesodo tentang kekurangan tenaga medis bagi rakyat, maka beliau meninggalkan Kweekschool dan lebih memilih untuk melanjutkan sekolah di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang terletak di Batavia. Selama menempuh pendidikan di STOVIA, beliau bergabung di organisasi Boedi Oetomo yang menjadi wadah aspirasi bagi pemuda terutama melalui jurnalistik. Dalam perkembangannya, kondisi kesehatan beliau terus menurun sehingga mempengaruhi proses belajarnya dan berakhir mendapatkan nilai yang baik dan tidak naik kelas. Pada tahun 1910, beliau mendapatkan tawaran pekerjaan sebagai ahli kimia di Laboratorium Pabrik Gula Kalibogor, akan tetapi setahun setelahnya beliau mengundurkan diri dari pekerjaannya karena ketidaksanggupannya melihat rakyat kecil yang diperlakukan secara kasar.
Beliau bergabung di organisasi Sarekat Dagang Islam dan aktif menulis di berbagai media massa. Karena tulisan-tulisan beliau dianggap mendukung rakyat, maka beliau dan istrinya, Raden Ayu Soetartinah ditangkap dan diasingkan ke Belanda. Ketika di Belanda, keinginan yang kuat untuk menjadi guru muncul kembali. Di Belanda, beliau berteman baik dengan Mr. John Dewey, Mr. Rabindranat Tagore, Mr.J.J. Rousseau, dr. Maria Montessori, Mr. Kerschensteiner dan Mr. Frobel. Beliau kagum pada metode Frobel yang menerapkan pendidikan dengan menyanyi dan bermain dan juga metode dari dr. Maria yang menerapkan metode pendidikan dengan menitik beratkan pada panca indra.
Beliau memulai karir sebagai seorang guru di sekolah Adhi Darmo yang didirikan oleh kakaknya Raden Mas Soerjopranoto. Setelah setahun bekerja, pada tanggal 3 Juli 1922 beliau akhirnya mendirikan sekolah sendiri yang diberinya nama National Onderwijs Instituut Tamansiswa dan mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara pada 23 Februari 1928. Pendirian sekolah tersebut sebagai bentuk protesnya terhadap sekolah yang didirikan Belanda tidak sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia. Maka dari itu filosofi dan seluruh aktivitas di Tamansiswa harus dilandasi oleh kebudayaan bangsa Indonesia, agar anak-anak Inlander dapat menjadi seorang intelektual yang berbudi pekerti serta mencintai tanah airnya. Pada tahun 1932, beliau sangat sedih dan marah ketika barang-barang di Taman Siswa disita oleh pemerintah Belanda karena dianggap tidak membayar pajak kepada pemerintah Belanda. Barang-barang yang disita tersebut kemudian dilelang kepada para bangsawan, tetapi diluar dugaan, barang-barang yang telah dibeli oleh para bangsawan tersebut dikembalikan lagi ke Tamansiswa.
Pada tahun 1957, beliau pernah mendapat gelar doktor kehormatan doctor honoris causa, Dr.H.C. dari Universitas Gadjah Mada. Ajaran dari Ki Hadjar Dewantara yang sangat dikenal yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo yang artinya menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan. Ing Madyo Mangun Karso, artinya seseorang ditengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat. Tut Wuri Handayani, seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Ki Hadjar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pengadjaran pada awal kemerdekaan dan juga anggota DPR pada pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949. Beliau kemudian mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota DPR dan memilih mengurus Tamansiswa dan tetap aktif menulis di berbagai media massa untuk menuangkan pikirannya seperti Tri Pusat Pendidikan maupun mengenai pendidikan bagi kaum perempuan. Kegiatan-kegiatan tersebutlah yang mengisi hari-hari Ki Hadjar, hingga beliau wafat pada 26 April 1959 dan dikenang sebagai Bapak Pendidikan Nasional yang pada setiap tanggal 2 Mei bangsa Indonesia akan memperingatinya sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Selamat jalan Bapak Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, jasa-jasamu akan selalu kami kenang untuk selamanya.